حيات الدنيا حيات قليلة فلا تلغ حياة أبدية

Selasa, 05 Juli 2016

SHALAT TARAWIH PADA JAMAN SAYYIDINA UMAR RADHIALLAHU


SHALAT TARAWIH PADA JAMAN SAYYIDINA UMAR RADHIALLAHU ‘ANHU

Dijaman Sayyidina Umar keadaan tetap seperti sebelumnya, mereka shalat tarawih berpencar-pencar, ada yang sendiri-sendiri ada pula yang berjama’ah, baik di rumah atau di masjid. Hal ini bisa kita kaji melalui atsar Iyas al Hudzali dan atsar Abdurahman bin Abdin.

1. Atsar yang pertama.


Dari Naufal bahwa Iyas al Hudzali; Orang-orang pada bulan Ramadhan shalat tarawih di masjid, kalau mereka mendengar ada pembaca yang baik bacaannya mereka bermakmum padanya. Ketika itu Sayyidina Umar berkata, “Sungguh mereka telah menjadikan Al Qur’an seperti nyanyian, demi Allah kalau saya bisa, saya akan rubah hal itu.”
Setelah kurang lebih 3 tahun Sayyidina Umar menyatukan mereka dalam satu imam yaitu Ubay bin Ka’ab, Sayyidina Umar berkata, “Kalau ini dikatakan bid’ah maka inilah bid’ah yang baik.” Diriwayatkan oleh Al Marwizi.

2. Atsar yang kedua


Yaitu atsar Abdurrahman bin Abdin: Di bulan Ramadhan saya keluar bersama Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu ke masjid, saya menyaksikan orang-orang berpencar-pencar melakukan shalat, ada yang shalat sendiri-sendiri, ada yang shalat berjama’ah dengan beberapa orang, maka waktu itu Umar berkata, “Saya berpendapat kalau mereka itu dikumpulkan dalam satu imam pasti lebih baik.” Kemudian ia mengumpulkan mereka pada ima Ubay bin Ka’ab, kemudian pada malam lainnya saya keluar dengannya sedang orang-orang shalat bersama-sama dengan satu qori’, dan Umar berkata, “Bid’ah yang paling baik ya ini, waktu mereka tidur pada akhir malam lebih baik daripada mereka bangun, sedang waktu itu orang-orang bangun (shalat tarawih) pada aqal malam. Diriwayatkan oleh Bukhari.

PERKEMBANGAN BARU


Dalam dua atsar tersebut di atas terlihat perkembangan baru pada tangan Sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu yaitu mengumpulkan mereka yang berpencar-pencar pada satu imam, perkembangan ini meskipun sebabnya berbeda-beda tetapi mengandung banyak hikmah.
Atsar yang pertama menitik beratkan pada keindahan segi bacaan yang menimbulkan dampak pertarungan antar qori’, serta saling berebut jama’ah yang akan shalat. Hal ini kalau terus berlangsung akan mengakibatkan perpecahan yang luas antara mereka yang shalat, maka Sayyidina Umar menyatukan imam agar bacaannya pun satu. Mungkin hal ini sesuai dengan kaidah:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan”

Karena ikutnya mereka yang shalat kepada yang suaranya lebih baik akan merupakan untuk memperbaiki suara dalam membaca Al Qur’an, hal ini memang dianjurkan asal tidak berlebih-lebihan seperti yang telah diriwayatkan oleh Sayyidina Umar. Maka oleh Sayyidina Umar disatukan dalam satu qori’ (imam) untuk membendung adanya hal yang tidak diinginkan.

Sedang atsar yang kedua menyebutkan adanya shalat jama’ah dan sendiri-sendiri, kalau ini berlangsung lama pasti akan hilanglah factor persatuan dan persahabatan, dan akan hilanglah hikmah daripada jama’ah, maka Sayyidina Umar menjadikan satu imam agar para makmum itu bersatu. Hal ini pun merupakan bid’ah yang baik. Sampai disini selesailah usaha menyatukan mereka, shalat pada satu imam, yaitu Ubay bin Ka’ab.

IMAM-IMAM YANG BANYAK


Ada nas juga yang menyatakan bahwa Sayyidina Umar mengadakan dua imam untuk orang-orang laki, yaitu Ubay bin Ka’ab dan Tamim al Dari, mereka berdua dalam satu malam bergantian, yang kedua memulai setelah yang pertama selesai, seperti yang diriwayatkan oleh Said bin Yazid bahwa Sayyidina Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim al Dari radhiallahu ‘anhuma agar menjadi imam bagi orang-orang yang shalat 11 rakaat, dengan tetap meperhatikan panjangnya bacaan (qira’ah).

Seperti yang ada pada riwayat lain: Bahwa kita shalat pada jaman Sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu di bulan Ramadhan 13 rakaat, tetapi demi Allah kita tidak keluar (belum selesai shalat) kecuali subuh, dan bacaan imam waktu itu dalam setiap rakaat 50 atau 60 ayat. Seperti yang diriwayatkan oleh Saib, bahwa mereka membaca ratusan ayat Al Qur’an, dan mereka banyak yang bersandar, memakai tongkat pada jaman Sayyidina Umar bin Khattab.

HAL YANG BARU DALAM DUA ATSAR TERSEBUT


Hal yang baru tersebut ialah banyaknya imam, setelah hanya satu imam yaitu Ubay bin Ka’ab, apakah hal itu karena kasihan kepada imam yang pertama, maka diganti orang lain untuk membantu, atau sebagai selingan bagi mereka yang makmum, dan agar lebih bersemangat bagi yang shalat, apalagi mereka baru saja pisah dari banyaknya imam, yaitu ketika mereka shalat berpencar-pencar.
Sayyidina Umar terus melakukan lebih jauh dari itu, dia telah menunjuk seseorang untuk menjadi imam bagi orang-orang perempuan, dan memilih lebih satu imam untuk shalat tarawih. Imam untuk orang-orang perempuan ialah Sulaiman bin Hathanah, seperti riwayat yang ada pada Al Marwizi dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya yang menyatakan bahwa Sayyidina Umar bin Khattab telah memilh dua qori’, Ubay bin Ka’ab sebagai imam untuk orang laki-laki dan Sulaiman bin Hathanah untuk orang perempuan.

Atsar ini menunjukkan bahwa Sulaiman bin Hathanah mengimami orang-orang perempuan disaat Ubay bin Ka’ab mengimami orang laki-laki, atau dengan kata lain mereka berdua mengimami shalat tarawih dalam satu waktu, seorang imam untuk laki-laki dan seorang untuk perempuan. Pada saat itu shalat tarawih mencapai puncaknya, baik ditinjau dari kegiatan, kesabaran lamanya berdiri serta banyaknya bacaan. Kemudian mulai menurun, akibat banyaknya imam dan diringankannya bacaan serta diperbanyaknya bilangan rakaat.
Tentang banyakmya imam lebih dari yang telah ditentukan, kita lihat dalam riwayat Ashim dari Sayyidina Utsman radhiallau ‘anhu bahwa Sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu mengumpulkan para qori’ (imam) dalam bulan Ramadhan dan memerintahkan memilih bacaan dengan ketentuan yang paling ringan (mudah) 30 ayat, sedang yang agak sulit 25 ayat, dan yang paling sulit (berat) 20 ayat. Kita lihat disini banyaknya imam, hal ini lebih santai dan lebih ringan bagi imam sendiri juga bagi para makmum.

Kemudian kita lihat juga keringanan dalam bacaan, yang paling banyak 30 ayat, padahal sebelumnya sampai 60 dan ratusan ayat. Bahkan ditemukan dalam atsar lain, yaitu Sayyidina Umar radhillahu ‘anhu menyuruh Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam pada bulan Ramadhan, mereka tidur pada seperempat malam dan bangun pada seperempat, dan seperempatnya lagi untuk sahur dan keperluan-keperluan lainnya. Ubay hanya membaca lima dan enam ayat dalam setiap rakaat dan banyaknya bilangan shalat 18 rakaat. Setiap dua rakaat salam, dan memberi waktu istirahat yang cukup untuk wudlu’ serta keperluan lain.
Dengan demikian jelaslah sampai dimana perubahan dan keringanan yang ada, baik dalm cara dan bacaannya. Tentang Bilangan Sebagai Berikut;

  1. Seperti terdahulu bahwa Sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu pertama-tama menyuruh Ubay bin Ka’ab agar menjadi imam shalat tarawih dengan 8 rakaat, sedangkan bacaannya ratusan ayat, sehingga selesai menjelang shalat Subuh.
  2. Seperti yang telah terdahulu juga bahwa Sayyidina Umar menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim untuk menjadi imam shalat tarawih 11 rakaat. Menghadapi riwayat yang mengatakan delapan rakaat, maka hal ini ditambah dengan tiga rakaat untuk shalat witir.

Ada juga yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Sirin bahwa Mu’adz Abu Halimah Al Qori’ menjadi imam shalat tarawih dengan 41 rakaat. Mu’adz Abu Halimah ini dalam taqrib disebutkan bahwa Mu’adz bin Harits Al Anshari Al Najasi Al Qori’ termasul orang yang diangkat oleh Sayyidina Umar untuk menjadi imam tarawih di satu mushalla. Dikatakan juga bahwa julukannya Abul Haritsah, dia seorang sahabat kecil, yang ikut dalam perang di Harroh pada tahun 63 H.
Ada lagi riwayat yang menguatkan banyaknya bilangan rakaat (41 rakaat), yaitu Abu Yazid dari Shalih Maula Tauamah berkata. “Saya melihat orang-orang sebelum terjadi perang Harroh shalat tarawih dengan 41 rakaat termasuk witir 5 rakaat, dengan demikian tarawihnya 41 rakaat dikurangi 5 rakaat untuk witir, jadi tarawihnya 36 rakaat. Shalih disebutkan dalam taqrib dia adalah Shalih bin Nabhan Al Madani Maula Tauamah, seorang yang dapat dipercaya, tetapi kabur pada akhirnya. Ibnu Adi menyatakan, “Tidak apa-apa dengan riwayat orang-orang terdahulu (رواية الأقدمين) seperti Ibnu Abi Yazid, Ibnu Jarir dari urutan (thabaqah)empat yang meninggal tahun 125.” Sedang ruwayat di atas termasuk riwayat orang-orang terdahulu (رواية الأقدمين) yaitu Ibnu Abi Dzi seperti yang dimisalkan oleh Ibnu Adi tidak apa-apa. Dia berkata, “Saya melihat orang-orang sebelumperang Harroh shalat tarawih dengan 41 rakaat, yang 5 untuk witir. Dengan demikian maka:

  1. Tarawih pada jaman Sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu dengan 13 rakaat termasuk witirnya.
  2. Kemudian 23 rakaat termasuk witir 3 rakaat.
  3. Kemudian 36 rakaat ditambah dengan 5 rakaat, jadi jumlahnya 41 rakaat.

Tetapi kita lihat bahwa diperbanyaknya rakaat disini untuk memperingan bacaan, karena:

T

Pertama, 8 rakaat atau 18 rakaat membaca dengan ratusan ayat dan tidak pulang kecuali menjelang Subuh, dengan demikian maka bacaan untuk 36 rakaat sama dengan untuk 8 rakaat atau 18 rakaat. Bahkan telah ada keterangan bahwa Sayyidina Umar betul-betul mengumpulkan para imam dan menyuruh membaca yang paling ringan, setiap rakaat 30 ayat, sedang sebelumnya 50 dan 60 ayat seperti yang telah lalu.

Dengan demikian tidak ada pertentang antara beberapa riwayat yang ada tentang bilangan rakaat tarawih pada jaman Sayyidina Umar, seperti yang dikatakan oleh AL Baji rahimahullah dalam kitabnya شرح الموطا juz 1 hal 208 yang ringkasnya sebagai berikut:

Macam-macam riwayat tentang shalat tarawih pada bulan Ramadhan di jaman Sayyidina Umar, Saib bin Zaid meriwayatkan 11 rakaat, Yazid bin Ruman 23 rakaat, sedang Nafi’ Maula Ibnu Umar menyatakan bahwa dia melihat orang-orang shalat tarawih dengan 39 rakaat termasuk witir 3 rakaat. Maka ada kemungkinan Sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu memulai dengan 8 rakaat seperti yang dikerjakan oleh Nabi seperti yang kita pahami dari hadit Sayyidah Aisyah yang lalu, bahwa Rasulullah tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau di bulan lainnya lebih dari 8 rakaat. Dan Sayyidina Umar menyuruh orang-orang untuk memanjangkan bacaan, setiap rakaat imam membaca ratusan ayat, tetapi setelah orang-orang kelihatan lemah, Sayyidina Umar menyuruh shalat dengan 23 rakaat, untuk meringankan agar berdirinya tidak lama, dan untuk mengambil fadhilahnya (yang lebih baik) dengan ditambahkannya bilangan rakaat.

Imam mambaca surat Al Baqarah dalam 8 atau 12 rakaat, dikatakan juga bahwa membaca hanya 30 sampai 20 ayat. Hal ini berlangsung sampai perang Harroh, yang ada waktu itu shalat tarawih dirasakan mulai berat berdiri berlama-lama, maka mereka mengurangi panjangnya bacaan dan menambah bilangan rakaat, yaitu 36 rakaat untuk tarawih dan 3 rakaat untuk witir. Begitu seterusnya keadaan seperti itu. Ada kemungkinan juga bahwa meringankan tarawih dengan 36 rakaat terjadi sebelum perang Harroh, seperti yang ada pada riwayat Muhammad bin Sirrin, bahwa Mu’adz Abu Halimah menjadi imam untuk 41 rakaat, sedangkan Mu’adz meninggal pada perang Harroh. Yang penting bagi kita bahwa apa yang terlihat adanya perkembangan tarawih pada jaman Sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu dengan meringankan panjangnya bacaan dan menambahkan bilangan rakaat, bila bilangan rakaatnya sedikit maka bacaannya panjang atau sebaliknya.

BERSAMBUNG KE JAMAN SAYYIDINA UTSMAN DAN ALI RADHIALLAHU ‘ANHUMA




Back to The Title

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to top